Les: Desa Kecil di Ujung Utara Bali yang Menjaga Laut, Tradisi, dan Harapan

Hujan baru saja reda di pesisir utara Bali. Aroma asin laut bercampur dengan semilir angin yang membawa bisik pohon kelapa. Di tengah suasana itu, desa kecil bernama Les berdiri dengan kisahnya yang unik: desa ini bukan hanya menyimpan tradisi leluhur, tetapi juga merajut masa depan lewat pariwisata berkelanjutan.

“Kalau bicara Desa Les, jangan hanya lihat lautnya. Lihat juga bagaimana orang sini hidup dengan alam. Di sini, budaya bukan sekadar tontonan, tapi napas,” tutur I Nyoman Nadiana, akrab dipanggil Don Rare, seorang pemandu wisata sekaligus tokoh masyarakat yang kerap mengangkat kearifan lokal Les dalam karya dan aktivitasnya.

Pernyataan Don Rare seakan menjadi pintu masuk memahami bagaimana Les membentuk identitasnya: sebuah desa di tepian laut Buleleng yang menolak hilang dalam arus modernisasi, justru menjadikan tradisi sebagai landasan untuk tumbuh.

Api, Air, dan Tradisi: Identitas Desa Les

Nama Les tak bisa dilepaskan dari sejarahnya. Desa ini dikenal sebagai salah satu desa Bali Mula—desa tua yang masih mempertahankan struktur budaya kuno dan tradisi leluhur dengan tidak melaksanakan Ngaben seperti desa-desa di Bali pada umumnya. 

Salah satu ikon yang masih hidup hingga kini adalah pengolahan garam tradisional. Di pesisir pantainya, pasir hitam disaring, air laut dimasak perlahan, hingga akhirnya mengkristal menjadi garam putih yang harum asin laut.

Bagi orang luar, mungkin itu sekadar garam. Namun, bagi masyarakat Les, setiap butirnya adalah simbol ketekunan dan harmoni dengan alam.
“Setiap butir garam punya cerita. Cerita tentang panasnya matahari, kerja keras, dan doa agar hasilnya membawa berkah,” ujar seorang petani garam setempat.

Tak hanya di darat, laut Les pun menyimpan kisahnya sendiri. Pantai yang dulu sempat rusak akibat praktik penangkapan ikan dengan bom kini bertransformasi. Berkat kerja sama warga, pemerintah, dan organisasi lingkungan, terumbu karang kembali hidup, ikan-ikan berdatangan, dan perairan Les menjelma menjadi salah satu spot snorkeling dan diving favorit wisatawan.

Bagi masyarakat, laut yang pulih bukan hanya daya tarik wisata, tapi juga pelajaran berharga.
“Kami belajar dari kesalahan. Laut ini bukan hanya untuk kami hari ini, tapi untuk anak cucu nanti,” tutur seorang nelayan lokal.

Transformasi ini menjadi bukti bahwa Desa Les mampu bangkit dari luka ekologis dengan kekuatan tradisi, kebersamaan, dan tekad menjaga alam.

Desa Wisata: Janji dan Bayang-Bayang

Nyoman Nadiana alias Don Rare (tatkala.co)

Pemerintah Provinsi Bali menempatkan desa wisata sebagai salah satu pilar penting pariwisata masa depan. Namun, desa wisata sejatinya bukan sekadar tempat liburan. Pitana & Diarta (2009) mendefinisikan desa wisata sebagai kawasan pedesaan yang menghadirkan suasana otentik, berakar pada budaya, adat, serta kearifan lokal. Dalam konteks ini, Desa Les menjadi contoh nyata bagaimana konsep tersebut dihidupkan melalui tradisi, budaya, dan hubungan harmonis dengan alam.

Di sisi lain, konsep pariwisata berkelanjutan memberi landasan yang lebih kokoh. Butler (1999) menekankan bahwa pariwisata berkelanjutan bukan hanya menjaga keberlangsungan destinasi, tetapi juga menyeimbangkan manfaat ekonomi, pelestarian lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan panduan UNWTO (2013) yang menegaskan bahwa pariwisata harus menjadi instrumen pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Namun, janji besar ini datang dengan bayang-bayang tantangan. Ketergantungan pada wisata dapat membuat desa rentan jika tidak dikelola hati-hati. Modernisasi membawa risiko perubahan sosial: sebagian anak muda tergoda meninggalkan tradisi demi pekerjaan instan di sektor pariwisata.

Di sinilah tokoh masyarakat seperti Don Rare memainkan peran penting. Dengan gaya khasnya, ia kerap mengingatkan:
“Kalau pariwisata hanya mengejar uang, desa bisa hilang jiwanya. Yang kita kejar harusnya keseimbangan: tradisi tetap hidup, masyarakat sejahtera, dan alam tetap lestari.”

Tantangan di Tengah Gelombang Pariwisata

Desa Les (Tempo)

Seperti banyak desa di Bali, Desa Les tidak luput dari dilema: bagaimana merangkul pariwisata tanpa kehilangan jati diri? Modernisasi menawarkan peluang, tetapi juga membawa bayang-bayang risiko. Picard (1996) sudah mengingatkan bahwa pariwisata, bila tak dikelola bijak, bisa mengikis nilai-nilai lokal yang justru menjadi daya tarik utama sebuah desa.

Kondisi ini nyata dirasakan nelayan Les. Dahulu mereka sepenuhnya menggantungkan hidup dari laut, namun kini harus bersaing dengan geliat industri wisata bahari modern. Cole (2008) juga mencatat bahwa interaksi antara masyarakat lokal dan wisatawan kerap menimbulkan kesenjangan sosial. Bagi generasi muda Desa Les, pilihan pun menjadi rumit: bertahan menjaga tradisi leluhur atau mengejar peluang cepat dari sektor pariwisata.

Dilema inilah yang menempatkan Desa Les pada persimpangan jalan: menjaga warisan sambil membuka diri pada masa depan.

Suara Data: Kenapa Desa Les Layak Diperhatikan?

Ilustrasi Data (jakubzerdzicki di Unsplash)

Buleleng kini tak lagi sekadar halaman belakang Bali. Data Dinas Pariwisata Kabupaten Buleleng mencatat lebih dari 1,4 juta wisatawan datang sepanjang 2024—angka yang menunjukkan geliat pariwisata pesisir makin terasa. Dari jumlah itu, Desa Les menjadi salah satu titik yang menarik perhatian, bukan karena pantainya saja, tetapi karena ceritanya yang berbeda.

Di darat, Les masih menjaga warisan garam tradisional. Penelitian menunjukkan bahwa tata niaga garam lokal di desa ini tidak hanya bertahan, tetapi juga punya peluang besar sebagai wisata edukasi yang unik—mengajak orang melihat langsung proses yang diwariskan turun-temurun.

Di laut, harapan juga tumbuh kembali. WWF Indonesia menegaskan bahwa rehabilitasi terumbu karang yang dilakukan bersama masyarakat adalah langkah nyata untuk memulihkan ekosistem yang pernah rusak. Kini, laut di sekitar Les kembali berwarna, menjadi rumah bagi beragam biota, sekaligus daya tarik bagi wisatawan snorkeling maupun diving.

Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa Desa Les bukan sekadar titik di peta pariwisata Bali Utara. Ia adalah contoh bagaimana budaya, alam, dan masyarakat bisa berjalan beriringan, menjadikannya model pembangunan desa wisata yang layak diperhitungkan di tingkat nasional.

Jalan Tengah untuk Desa Les

Wisatawan Menikmati Kudapan Di Desa Les (tatkala.co)

Meski memiliki kekayaan budaya dan alam, Desa Les tetap berhadapan dengan tantangan klasik: keterbatasan infrastruktur, rendahnya literasi digital sebagian warganya, dan ketimpangan akses ekonomi. Tantangan-tantangan ini bisa membuat desa terjebak dalam ketergantungan pada wisata semata.

Untuk mengatasi hal itu, berbagai solusi dirumuskan: memperkuat kapasitas SDM melalui pelatihan digital marketing bagi pelaku UMKM, mendorong diversifikasi ekonomi lewat produk-produk seperti garam organik dan kerajinan tangan, serta membangun kolaborasi lintas sektor yang menghubungkan desa dengan universitas, LSM, maupun pihak swasta.

Namun, Desa Les memilih cara yang lebih bermakna: menjadikan pariwisata sebagai sarana pemberdayaan, bukan sekadar menerima arus kunjungan wisatawan. Prinsip community-based tourism diterapkan dengan melibatkan masyarakat dalam setiap langkah. Dari menjaga terumbu karang, mengolah garam tradisional, hingga menampilkan tari-tarian di bale banjar, semua dilakukan sebagai wujud menjaga warisan sekaligus membuka peluang ekonomi.

Usaha Tidak Akan Pernah Mengkhianati Hasil

Penghargaan sebagai desa wisata terbaik dalam ajang ADWI 2024 yang digelar Kementerian Pariwisata RI. (Foto Dinas Pariwisata Buleleng.)

Kerja keras masyarakat Desa Les akhirnya membuahkan hasil. Pada tahun 2023, desa ini meraih Penghargaan Desa Wisata Indonesia (ADWI) kategori Digital and Creative dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Setahun berselang, Desa Les kembali menorehkan prestasi dengan masuk ke dalam 50 Besar ADWI 2024 sekaligus dinobatkan sebagai Desa Wisata Terbaik. Penghargaan-penghargaan ini menjadi pengakuan bahwa kreativitas berbasis budaya lokal mampu bersaing di tingkat nasional.

Lebih dari sekadar piala, dampaknya benar-benar terasa di tengah masyarakat. Warga kini tidak hanya bergantung pada laut, tetapi juga memperoleh penghasilan dari kreativitas lokal—mulai dari garam tradisional, kerajinan tangan, hingga atraksi budaya yang dipasarkan kepada wisatawan. Perlahan, Desa Les menjelma menjadi contoh bahwa pembangunan pariwisata bisa berjalan seiring dengan kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat.

Les dan Harapan yang Menyala

Air Terjun Yeh Mampeh (les-buleleng.desa.id)

Desa Les mengajarkan bahwa perubahan besar bisa lahir dari desa kecil. Di tengah derasnya arus globalisasi, Les membuktikan bahwa tradisi tidak harus ditinggalkan demi modernitas. Sebaliknya, keberanian menjaga adat, kesadaran melindungi alam, dan kreativitas mengolah potensi lokal justru menjadi kunci agar desa tetap hidup sekaligus maju.

Kisah ini bukan hanya tentang karang yang kembali tumbuh di dasar laut, atau garam tradisional yang menemukan makna baru di pasar global. Lebih dari itu, ini adalah tentang keyakinan sebuah komunitas kecil bahwa masa depan ada di tangan mereka sendiri. Harapan yang menyala dari Desa Les bukan hanya milik warganya, melainkan inspirasi bagi desa-desa lain di Indonesia untuk berdiri tegak dengan jati dirinya.

Dari laut yang terus berdenyut, budaya yang tak lekang oleh waktu, hingga kehidupan sosial yang kian berdaya, Desa Les menjadi bukti nyata bahwa desa dapat menjadi pusat peradaban baru—ruang di mana manusia dan alam saling menjaga, bukan saling menguasai.

Seperti yang ditegaskan oleh Ningsih, M., dkk. (2023) dalam Desa Wisata, Wisata Desa: Inovasi, Potensi, dan Strategi, desa wisata tidak seharusnya dipandang semata sebagai objek hiburan bagi wisatawan, melainkan sebagai subjek aktif yang menjaga alam, budaya, dan masa depan masyarakatnya. Itulah pesan kuat yang menjadikan Desa Les bukan sekadar destinasi, tetapi juga cermin bagi perjalanan pariwisata berkelanjutan di Indonesia. #APAxKBN2025

Sumber Artikel:

  • Butler, R. W. (1999). Sustainable tourism: A state-of-the-art review. Tourism Geographies, 1(1), 7–25. https://doi.org/10.1080/14616689908721291
  • Cole, S. (2008). Tourism, culture and development: Hopes, dreams and realities in East Indonesia. Clevedon, UK: Channel View Publications.
  • Dinas Pariwisata Kabupaten Buleleng. (2024). Laporan statistik kunjungan wisatawan 2024. Buleleng, Indonesia: Dinas Pariwisata Kabupaten Buleleng.
  • Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2023). Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023. Jakarta, Indonesia: Kemenparekraf.
  • Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2024). Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2024. Jakarta, Indonesia: Kemenparekraf.
  • Ningsih, M., dkk. (2023). Desa wisata, wisata desa: Inovasi, potensi, dan strategi. Surabaya, Indonesia: UIN Sunan Ampel Press.
  • Picard, M. (1996). Bali: Cultural tourism and touristic culture. Singapore: Archipelago Press.
  • Pitana, I. G., & Diarta, I. K. S. (2009). Pengantar ilmu pariwisata. Yogyakarta, Indonesia: Andi Offset.
  • UNWTO. (2013). Sustainable tourism for development guidebook. Madrid, Spain: World Tourism Organization.
  • WWF Indonesia. (2020). Laporan rehabilitasi terumbu karang di kawasan pesisir Bali Utara. Jakarta, Indonesia: WWF Indonesia.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.